Agung Sudaryono

Seorang pria yang dikenal sebagai "coklat "dulunya..cowok klaten maksudnya, tapi sekarang terdampar di Jogja. Moto hidupnya "khoirukum anfa ahum linnas". Sudah ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mutiah

Mutiah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh lelaki yang paling aku sayangi. Doa pagi ini untukmu, ampuni perempuan manja ini yang mestinya selalu menguatkan kangmas sebelum meminta dikuatkan. Yang semestinya memuliakan mas lebih mulia dari apapun sebelum menuntut haknya. Aku berpikir bahwa semua yang kukerjakan sudah merupakan standar tertinggi dari suamiku. Sudah yakin terbaik yang aku kerjakan untuknya. Namun mengapa seakan dia tak menghargai semua hasil kerjaku. Bahkan pujian dan ucapan terimakasih pun tak pernah keluar dari mulutnya. Aku selalu menilai bahwa dia selalu menempatkan harga dirinya melebihi apa yang ada padanya. Seringkali aku menilai suamiku hanyalah memanfaatkanku untuk kepentingan dan urusan pekerjaannya. Aku sering merasa diperlakukan tidak adil, bahkan sering aku minta suamiku untuk melihat aku secara utuh, bahwa tugasku menjadi ibu, menjadi bapak, menjadi kepala rumah tangga, menjadi kepala dapur bahkan menjadi kepala satpam bagi anak-anakku Sering aku menilai dia sangat keras kepadaku tapi tidak kepada orang lain, bahkan sering aku membuat keputusan sendiri untuk beberapa keperluan yang sebenarnya bukan hak ku melakukannya. Sampai suatu ketika aku membaca sebuah kisah dalam majalah, yang entah masih ada atau sudah musnah. Seorang yang menurut Rasulullah nanti akan masuk surga dibelakang istri Nabi, dia adalah Mutiah. Aku membaca sambil merenung bisakah aku setidaknya meniru salah satu perangai Mutiah ini. Aku membaca kisah itu sambil mengernyitkan dahi sungguh luar biasa apa yang Mutiah lakukan kepada suaminya. Jangankan berharap seperti Khodijah RA, menjadilan salah perangai Mutiah saja mungkin aku tak bisa. Bisa kubayangkan ketika suaminya bilang A, maka Mutiah akan laksanakan A persis seperti perintah suaminya, bahkan dia siapkan cambuk seukuran 2 m bila suaminya merasa ada yang tidak beres dengan perintahnya. Aku, jangankan A..diperintah A pasti aku akan tawar A1, A2, atau bisa jadi A9. Tak pernah aku tak menawar perintah suamiku. Selalu saja ada alasan dan argumen yang aku ajukan. Belum lagi urusan lainnya Mutiah begitu memuliakan suaminya ibarat sebuah perumpamaan yang pernah diberikam Rasulullah, jika saja boleh maka istri-istri di dunia ini akan beliau perintahkan untuk menyembah suaminya sebagai bentu ketaatan istri....aku. Sering aku sudah merasa memuliakan suami begitu rupa, namun tak kusangka apa yang kulakukan adalah sebuah penghinaan dan pengalihan dari martabat seorang suami. Sering aku menyela untuk memperhatikan dan memberikan hal lebih kepadaku, namun aku tak peduli bahwa sesungguhnya aku telah memerintahnya, menyuruhnya, memperalatnya. Padahal akulah budaknya, akulah pelayannya namun yang terjadi dialah yang melakukan semuanya. Aku pikir ini tidak adil , kenapa perempuan selalu menempati kelas inferior, namun suami selalu yang superior. Sampai satu titik dimana aku baca kisah Mutiah saat itu, ternyata dengan ketaatan, dengan keikhlasan dan dengan sepenuh hati memuliakan suami balasannya adalah masuk surga setelah istri Nabi. Ini bukan urusan gender lagi, tapi memang akhirnya implikasi pada apa yang dikerjakan suami sangatlah berat, ia menjadi imamku yang kelak akan menggandengkunke jannah. Kelak dia akan ridho dengan semua pekerjaanku dan membelaku di hadapan Arsy Sang Pengadil. Dialah yang akan menanggungku di dunia dan akhirat, dan seberapa taatku padanya belum apa-apanya ternyata. Bila kuminta suamiku menilai semua keadaan dengan bening hati, ternyata pantulan jiwa dan egoisku malah selalu menyilaukan pandangan matanya. Bahkan harga diri dan kehormatan suamiku kadang aku sejajarkan aku sandingkan dengam karya-karyaku di rumah sejak pagi hingga petang yang ternyata tak sepadan. Tugasku pagi siang sore yang kukira sudah jutaan harganya ternyata tak seimbang dengan tetesan keringat dan tarikan nafas dalamnya Bagaimana mungkin suami melihatku dengan bening sementara diriku selalu berbuat lalim. Sesuatu yang patut aku catat, bahwa suami Mutiah yang seorang shohabat Nabi, dia tidak pernah berkata kasar, tidak suami Mutiah berbuat kekerasan atau bahkan menyakiti secara fisik tapi Mutiah begitu hormat, begitu sayang, begitu kuat untuk memuliakan suaminya. Hampir sama denganku....aku tahu suamiku sudah melakukan semuanya, dia sudah perjuangkan hak-hak ku sebagaimana mestinya, kewajibannya sebagai suami telah dilaksanakan semuanya, satu perintah untuk taat kepadanya saja tidak bisa aku untuk tidak membantahnya. Dia hanya meminta aku untuk tidak mendebatnya saja aku tak sanggup, hanya minta aku tak menyelanya saat dia bicara aku tak bisa, lalu Bisakah aku seperti Mutiah?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post