Agung Sudaryono

Seorang pria yang dikenal sebagai "coklat "dulunya..cowok klaten maksudnya, tapi sekarang terdampar di Jogja. Moto hidupnya "khoirukum anfa ahum linnas". Sudah ...

Selengkapnya
Navigasi Web
opini

opini

“Merdeka Belajar” adalah jargon bombastis sebagai program besar 5 tahun ke depan yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita disambung dengan jargon lain “Belajar dari Covid-19” pada saat memperingati hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Lantas seberapa besar implementasi frase “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 pada saat ini? Benarkah kita sudah menuju merdeka belajar atau menuju sebagai insan pembelajar? Beberapa statemen menteri yang menunjukkan gagap dan gamangnya pengampu pendidikan di negeri ini juga terlihat saat evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh 2 bulan lalu, beliau mengatakan,” jadi dengan kondisi seperti ini, digital gapnya juga widen, ekonomi gapnya juga lebih widen lagi dan itu menjadi suatu wake call bagi kita di pemerintah bahwa ini, wah benar-benar gap anatar have dan have not itu besar sekali. Jadi daerah-daerah tertinggal itu harus benar-benar dibantu”. Hal inilah juga yang menjadi pertimbangan dalam SKB Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran dan Tahun Akademik Baru pada MasaPandemi Covid-19 yang disampaikan Senin 15 Juni 2020 lalu.

Melihat arah kebijakan yang belum begitu jelas saat ini, sulit bagi kita bisa mewujudkan “merdeka belajar” seperti yang disampaikan KI Hadjar Dewantara yang mendasarkan pendidikan dibangun pada asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan, karena di lapangan bisa kita saksikan kenyataan yang terjadi, yaitu:

Rusaknya nilai karakter bangsa oleh nilai angka, Covid-19 telah memporak porandakan agenda pendidikan yang digulirkan 5 tahun ini yaitu Penguatan Pendidikan Karakter dimana dalam program tersebut pemerintah memiliki program meningkatkan karakter peserta didik dengan 5 nilai utama yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas. Sejak pandemi ini dinyatakan sebagai bencana nasional dunia pendidikan sudah pesimis dengan berbagai rangkaian program pembelajaran on line yang tidak sukses dijalankan secara tiba-tiba. Karakter bangsa tereduksi dengan biasnya motivasi menyekolahkan anak oleh orang tuanya. Orang tua di negeri ini masih berorientasi pada angka-angka untuk melihat kriteria keberhasilan belajar anak-anaknya. Pun begitu belum ada sistem yang memfasilitasi keberhasilan belajar dengan melihat literasi dari kacamata dunia internasional yaitu literasi digital, literasi kewarganegaraan, literasi budaya, literasi sain, literasi numerik dan literasi bahasa sehingga tingkat literasi kita masih berada pada peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei (World Culture Index Score, 2018).

Terjadinya overlap tugas pokok dan fungsi lembaga negara, seharusnya lembaga legislatif berfungsi menyusun aturan-aturan yang mendukung majunya pendidikan di negeri ini. Saat ini yang terjadi adalah banyak campur tangannya secara pribadi mengatasnamakan tugas dengan memberikan rekmendasi beasiswa kepada peserta didik dan yang terjadi adalah kecemburuan sosial antar orang tua siswa karena beasiswa diberikan secara subjektif. Belum lagi kita baca pekan lalu di media cetak dan sosial adanya surat rekomendasi dari wakil rakyat kepada seorang peserta didik untuk masuk SMA favorit di daerah Jawa Barat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi biarlah Lembaga pendidikan dengan menterinya sebagai lembaga eksekutif menjalankan tugasnya sesuai legalitas yang sudah disahkan para wakil rakyat, sehingga benar-benar mereka objektif dalam menilai dan membuat sebuah kebijakan yang legal.

Belum meratanya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas, hal ini juga data dari 3 juta guru di Indonesia yang sudah literate dalam UKG tahu 2015 rata-rata nasional hanya 44,5 jauh di bawah SKM sebesar 55. Angka indeks pembangunan manusia oleh UNDP (2016) dimana angka indeks kita hanya 0,689 atau peringkat 113 dari 188 negara. Unesco dengan Global Education Monitoring juga menempatkan komponen guru di peringkat 14 dari 14 negara berkembang yag disurvei. Dari sinilah sebanarnya menteri kita sudah sadar bahwa ternyata gap dalam komponen pendidikan antar daerah sangatlah besar. Kualitas guru ini berimbas pada nilai akhir ujian yang tertuang pada laporan hasil belajar atau nilai raport. Menurut survei IGI 80% (2020) guru di Indonesia memberikan nilai rapot tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dengan melihat berbagai faktor yang ada. Bahkan ada daerah yang memberikan kebijakan nilai ganda kepada peserta didiknya agar bisa bersaing masuk sekolah jenjang lebih tinggi atas desakan orang tua. Sungguh luar biasa Covid-19 ini menjungkir balikkan tatanan yang sudah ada.

Melihat kondisi global sebenarnya kita tidak perlu jauh melihat negara maju seperti Finlandia, Jepang, Amerika, Singapura atau Australia yang tingkat literasi baik peserta didik atau gurunya sangat bagus. Kita sedikit bisa melihat Kuba negara kecil di Amerika Latin yang pendidikannya tergolong bagus Kemajuan Pendidikan di Kuba diperoleh dari pemberantasan buta huruf, pendidikan gratis semua jenjang, fasilitas dan sistem belajar yang bagus, pendidikan untuk semua, tenaga guru melimpah, belanja sektor pendidikan sangat tinggi, kesetaraan gender (Media Guru,2020). Saat ini sebenarnya merdeka belajar bisa saja diwujudkan jika saja masing-masing komponen bangsa bersedia melaksanakan tugas sesuai tanggung jawabnya. Semua warga sekolah baik kepala sekolah, guru, peserta didik, karyawan bersinergi untuk mewujudkan visi dan misi sekolahnya tidak mustahil akan menjadikan pendidikan negeri ini mengejar ketertinggalannya. Orang tua dan stake holder wajib mendukung setiap kebijakan pendidkan yang sudah dirumuskan. Semua warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang layak, memperoleh layanan pendidikan yang baik dan menyadari bahwa hasil dari pendidikan dan pengajaran bukan hanya tentang angka-angka dan rangking namun kreativitas anak, pemikiran kritis, kemampuan kerjasama dan komunikasi yang baik adalah juga hasil dari pendidikan yang bermutu. Anak-anak kita kelak di kemudian hari tidak hanya memerlukan angka-angka untuk sukses, mereka sangat membutuhkan keterampilan dalam teknologi media dan informasi, membutuhkan kerampilan dalam belajar dan inovasi, mereka butuh keterampilan hidup dan karir, mereka butuh keterampilan komunikasi yang efektif. Inilah konsep keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjadi orang yang sukses dan berhasil meraih cita-citanya. Biarlah mereka semua menjadi manusia pembelajar, manusia yang “merdeka belajar”.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

keren dan inspiratif

16 Jun
Balas

Matur nuwun Pak

20 Jul



search

New Post